Kamis, 14 Maret 2013

PELAKSANAAN LANDREFORM DI INDONESIA SEBELUM DAN SETELAH REFORMASI



PELAKSANAAN LANDREFORM DI INDONESIA
SEBELUM DAN SETELAH REFORMASI










Disusun oleh:

PENGAWASAN DAN PENYIDIKAN MASALAH ILLEGAL LOGGING DI TAMAN NASIONAL GUNUNG PALUNG KALIMANTAN BARAT



PENGAWASAN DAN PENYIDIKAN MASALAH ILLEGAL LOGGING DI TAMAN NASIONAL GUNUNG PALUNG KALIMANTAN BARAT

Logo UGM Hitam-putih











Diusun oleh:
Syaepudin (09/281764/HK/18037)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2012

A.   Latar Belakang
BAB I
PENDAHULUAN

           Seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat modern dalam menghadapi globalisasi serta adanya proses industrialisasi dipastikan  modernisasi akan menumbuhkan perubahan proses sosial dalam tata kehidupan masyarakat. Proses industrialisasi dan modernisasi dan terutama industrialisasi kehutanan telah berdampak besar pada kelangsungan hutan sebagai penyangga hidup dan kehidupan mahluk didunia. Hutan merupakan sumber daya yang sangat penting tidak hanya sebagai sumber daya kayu, tetapi lebih sebagai salah satu komponen lingkungan hidup.
            Untuk itu dalam kedudukannya hutan sebagai salah satu penentu system penyangga kehidupan harus dijaga kelestariaannya sebagaimana landasan konstitusional Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi : “Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
            Kawasan hutan merupakan sumberdaya alam yang terbuka, sehingga akses masyarakat untuk masuk memanfaatkannya sangat besar. Kondisi tersebut memacu permasalahan dalam pengelolaan hutan. Seiring dengan semangat reformasi kegiatan penebangan kayu dan pencurian kayu dihutan menjadi semakin marak apabila hal ini dibiarkan berlangsung secara terus menerus kerusakan hutan Indonesia akan berdampak pada terganggunya kelangsungan ekosistem, terjadinya banjir, erosi/tanah longsor, disfungsinya hutan sebagai penyangga keseimbangan alam serta dari sisi pendapatan Negara pemerintah Indonesia mengalami kerugian yang dihitung dari pajak dan pendapatan yang seharusnya masuk ke kas Negara.
            Aktifitas penebangan kayu dan pencurian kayu pembalakan kayu yang diambil dari kawasan hutan dengan tidak sah tanpa ijin yang sah dari pemerintah yang dikenal dengan istilah illegal logging   terjadi dihutan Indonesia semakin tak terkendali. Aktifitas illegal logging saat ini berjalan dengan lebih terbuka, transparan dan banyak pihak yang terlibat dan memperoleh keuntungan dari aktifitas pencurian kayu tersebut. Modus yang biasanya dilakukan adalah dengan melibatkan banyak pihak dilakukan secara sistematis dan terorganisir. Pada umumnya, mereka yang berperan adalah pemodal (cukong), masyarakat setempat atau pendatang, pemilik pabrik atau sawmil, pemegang izin HPH atau IPKH yang bertindak sebagai penadah, pengusaha asing, dan penyedia angkutan dan pengaman usaha (seringkali sebagai pengaman usaha adalah dari kalangan birokrasi, aparat pemerintah, polisi, TNI).
            Dalam beberapa hasil temuan modus yang biasa dilakukan dalam illegal logging adalah pengusaha melakukan penebangan di bekas areal lahan yang dimilikinya maupun penebangan diluar jatah tebang, serta memanipulasi isi dokumen SKSHH ataupun dengan membeli SKSHH untuk melegalkan kayu yang diperoleh dari praktek illegal logging. Illegal loging terjadi karena adanya kerjasama antara masyarakat lokal yang berperan sebagai pelaksana dilapangan dengan para cukong bertindak sebagai pemodal yang akan membeli kayu-kayu hasil tebangan tersebut, adakalanya cukong tidak hanya menampung dan membeli kayu-kayu hasil tebangan namun juga mensuplai alat-alat berat kepada masyarakat untuk kebutuhan pengangkutan. Dalam makalah ini saya akan mencoba menjelaskan sekelumit mengenai pengawasan dan penyidikan  di bidang kehutanan terkait masalah illegal loging yang terjadi di Taman Nasional Gunung Palung Kalimantan Barat.

B.   Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah dampak Illegal Logging terhadap lingkungan ?
2.      Bagaimana pengawasan taman nasional Gunung Palung terkait praktek Illegal Logging?
3.      Bagaimana sistem penyidikannya dalam memberantas praktek Illegal Logging di Indonesia ?
C.   Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini untuk membahas bagaimana sistem pengawasan dan juga sistem penyidikan di Taman Nasional Gunung Palung terkait praktek illegal logging. Serta membahas tentang dampak illegal logging di Indonesia.Oleh karena itu tindakan Illegal Logging itu sangat merugikan dan dilarang oleh Negara.
D.   Manfaat
1.      Untuk mengetahui dampak illegal logging terhadap lingkungan.
2.      Untuk mengetahui bagaimana sistem pengawasan dan juga penyidikan yang diterapkan dalam memberantas illegal logging di Taman Nasional Gunung Palung.















BAB II
PEMBAHASAN
          A.Dampak Illegal Logging
          Data yang dikeluarkan oleh Bank Dunia menunjukan bahwa pada tahun 1985-1997 Indonesia telah kehilangan hutan sekitar 1,5 jta hektar setiap tahun dan diperkirakan  sekitar 20 tahun hutan produksi yang tersisa. Illegal Logging telah merusak semuanya, mulai dari ekosistem hutan sampai perdagangan kayu hutan. Dan dampak-dampak yang lain dari illegal logging yang terjadi di Indonesia adalah sebagai berikut:
1.      Dampak yang sudah terasa sekarang ini adalah Indonesia sering dilanda banjir dan tanah longsor.
2.      Illegal logging juga mengakibatkan berkurangnya sumber mata air di daerah perhutanan.Dan menurut catatan kompas, pada tahun 2007 ini tercatat 78 kejadian kekeringan yang tersebar dari 11 propinsi dan 36 kabupaten.
3.      Secara tidak langsung illegal logging menyebabkan hilangnya lapisan tanah yang subur didaerah pegunungan dan di daerah sekitar hutan.
4.      Illegal Logging juga menyebabkan musnahnya berbagai flora dan fauna,erosi, konflik di kalangan masyarakat, devaluasi harga kayu, hilangnya mata pencaharian, dan rendahnya pendapatan negara dan daerah dari sektor kehutanan.
5.      Dan dampak yang paling kompleks adalah global warming yang sekarang sedang mengancam dunia.
Oleh karena itu pemanfaatan dan pelestarian sumber daya hutan perlu dilakukan melalui suatu system pengelolaan yang dapat menjaga serta meningkatkan fungsi dan perananya bagi kepentingan generasi masa kini ataupun generasi dimasa yang akan datang.

B.Sistem Pengawasan Terkait Illegal Logging
            Permasalahan illegal logging sesungguhnya merupakan suatu hal yang sangat kompleks, karena tidak hanya terkait dengan aspek penegakan hukum / yuridis, tetapi juga terkait aspek ekonomis, sosiologis dan kultur. Illegal logging juga merupakan masalah utama dalam sektor kehutanan. Kejahatan ini bisa memberikan dampak yang luar biasa bagi peradaban dan generasi yang akan datang. Maraknya praktek illegal loging yang terjadi berakibat, pada rusaknya hutan pada saat ini. Untuk menanggulangi atau meminimalisir tindakan illegal logging maka perlu adanya suatau pengawasan. Dan pengawasan yang bertujuan untuk meminimalisir tindakan illegal logging itu, dilakukan oleh Dinas Kehutanan, polhut, dan masyarakat sekitar. Pengawasan tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1.      Dinas Kehutanan memberikan himbauan dan penyuluhan hukum kepada masyarakat. Himbauan-himbauan dapat dilakukan melalui media massa seperti media elektronik atau media cetak, spanduk-spanduk, atau pamplet yang berisi tentang ajakan untuk ikut serta dalam usaha-usaha perlindungan terhadap hutan dan hasil hutan.
2.      Mendirikan pos-pos peredaran pengangkutan hasil hutan di daerah perbatasan dan jalan lintas propinsi.
3.      Melakukan patroli secara rutin, mendadak, periodik ataupun gabungan dalam kawasan hutan, di aliran sungai yang dijadikan jalur pengangkutan kayu untuk menuju terminal akhir ( tempat penampungan kayu ), dan dalam wilayah hukum polhut yang telah ditentukan.
4.      Mengoptimalkan pos-pos tempat penarikan retribusi yang ada di daerah perbatasan, serta melakukan pengecekan terhadap dokumen yang melegalkan pengangkutan kayu.
5.      Menulusuri tempat penampungan kayu.
6.      Melakukan koordinasi dengan mitra instansi / lembaga yang terkait dalam operasi perlindungan dan pengamanan hutan.



C.Sistem Penyidikan Terkait Illegal Logging
1.      Siapa yang menjadi penyidik
            Sebelum sampai pada tahap penyidikan terhadap suatau peristiwa yang dianggap sebagai tindak pidana, terlebih dahulu harus dilakukan suatu proses yang disebut penyelidikan. Penyidikan itu sendiri mempunyai artinya serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentanag tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Ketentuan mengenai penyidikan terhadap kejahatan di bidang kehutanan diatur secara khusus dalam Pasal 77 UU Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan. Dan yang berwenang dalam melakukan penyidikan dalam kasus illegal logging adalah;
a.       Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
Selain melakukan penyelidikan illegal logging secara professional dan proposional,Polri juga melakukan upaya koordinasi secara intensif dengan Dephut RI dan Kejagung RI dalam penyelidikan dan penyidikan demi efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanannya, sehingga di dalam penyelidikan mengenai dugaan tindak pidana kehutanan sering mengikutsertakan masing-masing anggotanya sejak dari awal penyelidikan tersebut.
b.      Pejabat Pegawai Negri Sipil
Pejabat Pegawai Negri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggungjwabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik. Mengenai kewenangan dari PPNS Kehutanan tersebut diatur dalam Pasal 77 ayat (2) UU No. 41 Tahun 199 tentang Kehutanan sebagai bentuk penjabaran dari Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang menyatakan bahwa wewenang PPNS diatur dalam Undang-Undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing.

c.       Polisi Hutan (polhut)
Kewenangan Polisi Kehutanan (polhut) diatur dalam Pasal 51 ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Bila dibandingkan dengan kewenangan penyidik yang dimuat dalam Pasal 7 KUHAP, maka Polisi Hutan (polhut) terbatas kewenangannya. Polisi Hutan (polhut) tidak mempunyai kewenangan:
a)      . melakukan penangkapan dan penahanan
b)      . melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat
c)      . mengambil sidik jari dan memotret seseorang
d)     . mendatangi seorang ahli
e)      . mengadakan tindakan lain yang menurut hukum yang bertanggungjawab.

2.      Siapa Yang Disidik
            Bedasarkan Pasal 55 KUHP dan UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan maka yang dapat disidik atau yang dapat digolongkan sebagai pelaku tindak pidana illegal logging adalah:
a.       Cukong.
b.      Masyarakat setempat, pendatang (penebang kayu).
c.       Pemilik modal.
d.      Pemilik pabrik moulding atau sawmill.
e.       Pemegang izin HPH atau IPKH yang bertindak sebagai pencuri atau penadah.
f.       Nahkoda kapal.
g.      Oknum Pejabat pemerintah atau oknum aparat keamanan
h.      Pengusaha asing.
3.      Proses Penyidikan
            Di dalam UU No.41 tahun 1999, penyidikan di bidang Kehutanan adalah suatu proses yang ditangani oleh pejabat Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negri Sipil (PPNS) Kehutanan, terhadap setiap orang yang melakukan perbuatan dalam tindak pidana kehutanan. Dalam proses penyidikan terhadap tersangka yang melakukan tindak pidana di bidang kehutanan khususnya illegal logging harus tunduk pada Undang-Undang No.41 Tahun 1999 yang juga tidak lepas dari pasal-pasal dalam KUHAP tentang penyidikan kemudian menerapkan hukum acara yang berpedoman kepada KUHAP. Adapun proses penyidikan dalam kasus illegal logging adalah sebagai berikut:

1.      penyidik menerima laporan ataupun pengaduan yang berkenaan dengan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
2.      melakukan pemeriksaan atas kebenaran atas laporan atau pengaduan tersebut.
3.      melakukan penggeledahan dan penyitaan barang bukti tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hsil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4.      menangkap dan menahan dalam koordinasi dan pengawasan penyidik kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan KUHAP.
5.      melakukan pemeriksaan terhadap tersangka dan saksi-saksi
6.      membuat dan juga menandatangani berita acara pemeriksaan (BAP).
7.      menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti tentang adanya tindak pidana illegal logging.
8.      penyidik wajib segera menyerahkan atau pelimpahan berkas-berkas kepada penuntut umum beserta tersangka dan barang bukti setelah penyidikan selesai.
9.      penuntut umum akan segera mengembalikan berkas perkara kepada penyidik Polri disertai pentunjuk untuk dilengkapi, jika ternyata berkas kurang lengkap.
10.  jika hasil penyidikan dikembalikan, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan dengan petunjuk dari penuntut umum.
11.  penyidikan dianggap telah selesai dalam waktu 14 hari, penuntut umum tidak akan mengembalikan hasil penyidikan.
Jadi dapat dikatakan penyidikan selesai apabila semua berkas yang diperlukan telah diserahkan kepada penuntut umum oleh penyidik beserta tersangka dengan tidak ada kekurangan-kekurangan lagi untuk selanjutnya diajukan penuntutan di depan siding pengadilan oleh penuntut umum.
Artinya pada tahap pertama, penyidik hanya menyerahkan berkas perkara, dan jika penyidikan dianggap selsesai oleh jaksa, maka penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka beserta barang bukti kepada jaksa atau penuntut umum sesuai Pasal 8 ayat(3) KUHAP “ Penyerah berkas perkara sebagaimana dimaksud ayat(2) dilakukan :
a.       pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara.
b.      Dalam hal penyidikan sudah dinggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum.


BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A.Kesimpulan
Di akhir penulisan ini, penulis akan merangkum seluruh hasil pembahan menjadi kesimpulan. Adapun kesimpulan penulis adalah:
1.      Dampak dari maraknya tindak pidana illegal logging sudah terasa sekarang. Illegal Logging juga merupakan penyebab terbesar kerusakan hutan Indonesia, dan juga penyebab adanya global warming.
2.      Untuk meminimalisir semakin maraknya illegal logging maka dilakukan pengawasan. Dan pengawasan itu dilakukan itu dilakukan oleh Dinas Kehutanan, polhut, dan juga masyarakat sekitar. Pengawasan yang dilakukan:
a.       Memberikan himbuan kepada masyarakat
b.      Mendirikan pos-pos peredaran pengangkutan hasil hutan
c.       Mengadakan patroli secara rutin, mendadak, periodik, ataupun gabungan.
d.      Mengoptimalkan pos-pos  tempat penarikan retibus.
e.       Menelusuri tempat penampungan kayu.
f.       Menelusuri koordinasi dengan mitra instansi atau lembaga yang terkait dalam operasi perlindungan dan pengamanan hutan.
3.      Penyidikan dalam kasus tindak pidana illegal logging ditangani oleh pejabat Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia, Penyidik Pegawai Negri Sipil, dan Polisi Hutan(polhut), terhadap setiap orang yang melakukan perbuatan dalam tindak pidana kehutanan.
4.      Bedasarkan Pasal 55 KHUP dan UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan maka yang disidik atau yang dapat digolongkan sebagai pelaku tindak pidana illegal logging adalah:
a.       Cukong, penebang kayu.
b.      Masyarakat sekitar, atau pendatang (penebang kayu).
c.       Pemilik modal.
d.      Pemilik pabrik moulding, atau sawmill.
e.       Pemegang izin HPH atau IPKH yang bertindak sebagai pencuri atau penadah.
f.       Nahkoda kapal.
g.      Oknum Pejabat pemerintah atau oknum aparat keamanan.
h.      Pengusaha asing.
5.      Artinya pada tahap pertama, penyidik hanya menyerahkan berkas perkara, dan jika penyidikan dianggap selsesai oleh jaksa, maka penyidik menyerahkan tanggung jawab atas tersangka beserta barang bukti kepada jaksa atau penuntut umum sesuai Pasal 8 ayat(3) KUHAP.


B.Saran
Saran-saran yang dapat penulis berikan:
1.      Agar kelestarian dan keanekaragaman hayati dalam hutan terjaga dan tidak rusak maka perlu adanya upaya penanggulangan illegal logging, sehingga kerusakan hutan tidak menyebar.
2.      Masyarakat diharapkan lebih berperan aktif untuk melakukan pengawasan dan perlindungan terhadap hutan, hasil hutan disekitarnya dan melaporkan kepada pihak yang berwajib setiap kejadian yang mencurigakan. Pemerintah juga diharapkan untuk lebih memperhatikan keadaan ekonomi masyarakat terutama yang tinggal disekitar daerah hutan yang umumnya tergantung pada hasil hutan. Sehingga tidak terdorong untuk melakukan praktek illegal logging baik untuk kepentingan sendiri maupun atas perintah atau suruhan dari masyarakat luar. Selain itu pemerintah juga harus meningkatkan kegiatan penyuluhan hukum sehingga meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan arti dan fungsi hutan.
3.      Agar penyidik di bidang Kehutanan dapat lebih menunjukan eksistensinya maka harus diberikan otoritas dan wewenang yang lebih besar.







DAFTAR PUSTAKA
                Harahap, M, Harun, 1991, Penyidikan dan Penuntutan Dalam Proses Pidana, Rineka Cipta,            Jakarta
                http://jmg64.tripod.com/pengamananhutanterpadu.htm   diakes pada 10 mei 2012
                http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2011/03/ilegal-logging/   diakes pada 11 mei 2012
               








           











           






 

ANALISIS PERBANDINGAN MIGAS DENGAN MINERBA



ANALISIS PERBANDINGAN MIGAS DENGAN MINERBA




Disusun oleh:
Syaepudin
(09/281764/HK/18037)


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA

2012
BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
          Migas (minyak bumi dan gas alam) dan juga minerba (mineral dan batubara) merupakan SDA yang tidak terbarukan (non Renewable) yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, serta memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Kegiatan usaha penambangan migas dan minerba yang mengandung nilai ekonomis dimulai sejak adanya usaha untuk mengetahui posisi area, jumlah cadangan, dan letak geografi dari lahan yang mengandung migas dan juga minerba.
            Setelah ditemukan adanya cadangan maka proses eksploitasi (produksi), angkutan, dan industri penunjang lainnya akan memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi sehingga akan terbuka persaingan usaha di dalam rangkaian industri tersebut. Di Indonesia peraturan tentang usaha penambangan migas diatur dalam UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak Bumi dan Gas Alam. Dan untuk minerba diatur dalam UU No.4 Tahun 2009 yang merupakan pembaruan dari UU No.11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan.
            Perubahan mendasar yang terjadi adalah perubahan dari sistem kontrak karya pada migas dan perjanjian menjadi sistem perijinan pada minerba, sehingga Pemerintah tidak lagi berada dalam posisi yang sejajar dengan pelaku usaha dan menjadi pihak yang member ijin kepada pelaku usaha di industri pertambanga migas dan juga minerba.

B.   Rumusan Masalah
1.      Bagaimana perbandingan antara  UU Migas yang menggunakan rezim perijinan dengan UU  Minerba yang menggunakan rezim kontrak ?
2.      Mengapa UU Migas menggunakan sistem kontrak sedangkan UU Minerba menggunakan sistem perijinan ?
3.      Bagaimana aturan peralihan UU  Minerba yang masih diakui tapi menyebabkan adanya tutup kontrak atau perusahaan tolak renegoisasi ?

C.   Tujuan
1.      Untuk mengetahui bagaimana perbandingan antara UU Migas yang menggunakan  rezim perijinan dengan UU Minerba dengan rezim kontrak.
2.      Untuk mengetahui mengapa UU Migas menggunakan sistem kontrak sedang kan UU Minerba menggunakan rezim kontrak
3.      Untuk mengetahui bagaimana aturan peralihan UU Minerba  yang masih diakui tapi menyebabkan adanya tutup kontrak




















BAB II
PEMBAHASAN

      I.            Perbandingan UU Migas (rezim perijinan) dan UU Minerba (rezim kontrak)
            Dinamika lingkungan yang berubah, termasuk diterapkan nya otonomi daerah  merupakan konteks yang melatarbelakangi lahirnya sejumlah perubahan dalam UU Minerba yang baru. Yang paling penting diantaranya adalah dihapuskannya sistem kontrak karya (KK) bagi perusahaan pertaambangan dan diganti dengan sistem ijin usaha pertambangan (IUP).
            Menguatnya Hak Penguasaan Negara (HPN), termasuk penguasaan SDA, Pemerintah menyelenggarakan asa tersebut lewat kewenangan mengatur, mengurus dan mengawasi pengelolaan usaha tambang. Untuk itu dimulai dari perubahan sistem/rezim kontrak menjadi sistem/rezim perijinan.
            Dalam sistem/rezim kontrak sebagaimana diterapkan selama ini bedasarkan UU No.11 Tahun 1967, posisi pemerintah tidak saja mendua yaitu sebagai regulator dan pihak yang melakukan kontrak, tetapi secara mendasar juga merendahkan posisi Negara setara kontraktor. Oleh sebab itu implikasi hukum perubahan sistem/rezim dalam undang-undang yang baru ini adalah mengembalikan asas HPN pada posisi secara ketatanegaraan.berikut ini perbandingan antara rezim perijinan dengan rezim kontrak.

Perbandingan Sistem /rezim Perijinan Dan Sistem/rezim Kontrak
           Subyek
Sistem/rezim Perijinan
      Sistem/rezim Kontrak
1. Hubungan Hukum
Bersifat publik, instrumen hukum administrasi negara
Bersifat perdata
              2. Penerapan Hukum
Oleh Pemerintah
Oleh Kedua belah pihak
3. Pilihan Hukum
Tidak Berlaku Pilihan Hukum
Berlaku Pilihan Hukum
4. Akibat Hukum
Sepihak
Kesepakatan Dua Belah
Pihak
5.Penyelesaian sengketa
PTUN
Arbitrase
6. Kepastian Hukum
Lebih Terjamin
Kesepakatan Dua Belah
Pihak
7. Hak Dan Kewajiban
Hakdan Kewajiban Pemerintah
Lebih Besar
Hak dan Kewajiban relatif setara Antar Pihak
8. Sumber Hukum
Peraturan Perundang-undangan
Kontrak/Perjanjian itu
Sendiri

   II.            Alasan UU Minerba menggunakan Sistem Perijinan dan UU Migas menggunakan Sistem Kontrak
a.      UU Minerba menggunakan Sistem Perijinan
            Disahkannya UU No.4 Tahun 2009 adalah untuk menggantikan UU No.11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman ditingkat nasional maupul global. Pada UU No.11 Tahun 1967 problem terbesar yaitu sistem perjanjian atau kontrak tambang. Dalam pertambangan mineral, dikenal istilah Kontrak Karya (KK). Sementara dalam industri tambang batubara ada istilah Perjanjian Karya Pengusaha Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Kuasa Pertambangan (KP).
            Sistem kontrak ini memposisikan negara dan korporasi tambang secara sejajar. Dalam rezim kontrak, negara dipandang sebagai mitra bisnis perusahaan tambang yang tidak memiliki sifat superior. Hal ini yang menyebabkan negara selalu lemah ketika berhadapan dengan korporasi dalam perumusan pembaruan kontrak, penarikan royalty dan pajak, juga saat kasus-kasus lingkungan dan sosial bermunculan.
            Posisi negara yang lemah dalam UU No.11 Tahun 1967 inilah yang berusaha untuk dirubah oleh pemerintah dan DPR melalui UU No.4 Tahun 2009 tentang Minerba. Maka, dalam UU Minerba terjadi perubahan rezim dalam tata kelola industri tambang nasional. Sehingga istilah-istilah seperti KK, PKP2B dan KP diganti menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP).
            Dalam rezim perijinan atau IUP ini, negara berada dalam posisi yang superior dibandingkan dengan perusahaan tambang. Negara berwenang menerapkan sanksi administratif mulai dari penghentian sementara kegiatan tambang hingga pencabutan IUP (pasal 151 ayat 2). Dan dalam pasal 36 UU Minerba, disebutkan bila IUP terdiri atas dua tahapan, yaitu IUP Eksplorasi yang berupa penyelidikan umum, eksplorasi dan studi kelayakan) dan IUP Operasi Produksi yang terdiri atas konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan.

b.      UU Migas menggunakan Sistem Kontrak
            Dengan berlakunya UU No. 22  Tahun 2001 tentang Migas yang menggantikan UU No.8 Tahun 1971 tentang Pertamina, maka terjadilah paralihan Kuasa pertambangan (KP) dari Pertamina ke Pemerintah yakni Menteri ESDM, sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat (3). Sedangkan arti kuasa pertambangan disini adalah wewenang untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sebagaimana diatur dalam pasal 12 ayat (4).
            Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi dilakukan dengan sistem Kontrak Kerjasama (KK). Kontrak Kerja sama ini bedasarkan pada pasal 1 butir 19 yang merupakan Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerjasama lain dalam kegiatan eksplorasi dan juga eksploitasi yang lebih menguntungkan negara dan juga hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Artinya UU Migas tidak hanya mengenal satu bentuk sistem Kontrak saja tetapi mengenal  sistem Kontrak Kerjasama dan sistem Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Center) . Pada sistem kontrak karya migas royalty yang diterima oleh pemerintah sangatlah kecil, manajemen sepenuhnya ada ditangan kontraktor. Sehingga, pemerintah tidak memiliki mekanisme untuk mengontrol produksi, biaya dan harga jualnya. Kepemilikan Migas berada ditangan kontraktor dan kontraktor tersebut bertindak sebagai operator sekaligus bertanggung jawab atas manajemen operasi, sedangkan pembagian pembayaran royalty dihitung dari tingkat produksi tertentu.
            Pada pelaksanaan usaha Migas saat ini ditekankan pada sistem Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Center) karena royalti yang diterima pemerintah dalam hal ini melalui Menteri ESDM lebih besar. selain royalti diterima pemerintah, sistem PSC memiliki beberapa keuntungan lainnya, diantaranya yaitu :
·         Pada sistem ini kontraktor hanya diberi hak ekonomis atas kuasa pertambangan yang dikuasai Perusahaan Negara melalui pola pembagian hasil (production sharing), bukan keuntungan dalam bentuk uang (profit sharing)
·         Sistem ini juga terdapat mekanisme kontrol pada kontraktor
·         Semua resiko ditanggung kontraktor, jika gagal maka seluruh biaya menjadi tanggungan pengusaha migas, sedangkan  pemilik lahan /negara tidak akan dimintai ganti rugi.
·         Seluruh sarana yang dibangun oleh kontraktor tetap menjadi milik pemerintah. Dalam PSC seluruh peralatan atau instalasi migas menjadi milik negara.
·         Di dalam PSC, negara tetap memegang kendali managemen migas. Kontraktor harus mengajukan program dan anggaran setiap tahun kepada pemerintah untuk memperoleh persetujuan.
·         Di dalam PSC standar, bagian bersih negara dan kontraktor masing-masing 85% dan 15%.
            Sistem kontrak bagi hasil (production sharing contract) bukanlah satu-satunya bentuk kerjasama yang diatur dalam UU Migas. Dalam pelaksanaannya bisa juga menggunakan sistem kontrak karya yang diperlukan untuk menarik investor asing. Hal ini dikarenakan tingkat resiko pertambangan migas yang memiliki resiko yang sangat tinggi pada tahap eksplorasi. Disisi lain pemerintah tidak punya cukup dana melalui APBN untuk membiayai eksplorasi yang merupakan bisnis beresiko, oleh karena itu mencari kerjasama dengan pihak investor, baik nasional maupun asing untuk turut membiayai dan mengambil resiko tersebut, sehingga pemerintah terbebas dari resiko dan kebangkrutan karena bermain dalam bisnis migas.
III.            Aturan Peralihan UU Minerba ( UU No.4 Tahun 2009)    
            Dalam UU Minerba ditetapkan pada pasal 169 bahwa:
            Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusaha Pertambangan Batubara (PKP2B) yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian”.
            “Ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya dan perjanjian karya  pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud pada huruf a disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan kecuali mengenai
penerimaan negara”.
            Pengecualian terhadap penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada huruf b adalah upaya peningkatan penerimaan negara.
           
Ketentuan yang tercantum dalam UU Minerba diatas menyimpang dari hakihat peralihan yang intinya :
1.      menyederhanakan masalah yang akan timbul akibat lahirnya peraturan perundandang-       undangan yang baru bukan sebaliknya menimbulkan masalah baru
2.      mencegah kekosongan hukum (rechtvacuum) dan kekosongan kekuasaan (machtvacuum)
3.      menciptakan kepastian hukum dalam arti memberikan perlindungan kepada semua             perbuatan  hukum yang lahir bedasarkan dan peraturan perundangan yang lama.

            Ketentuan peralihan yang benar adalah cukup memberikan kepastian hukum kepada siapa saja baik bagi penyelenggara fungsi-fungsi pemerintahan maupun kepada pemegang izin, kontraktor atau para pihak yang telah melakukan perbuatan hukum yang terkait dengan Minerba  sampai selesainya jangka waktu izin dan perijinan.
            Ketentuan peralihan dalam  UU Minerba diatas, selain menyimpang dari hakikat aturan peralihan juga akan menimbulkan masalah baru dan oleh Presiden akan diajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi untuk constitusional review sebab tidak sejalan dengan UUD 1945 dan sikap pemerintah untuk menghormati segala izin, kontrak/perjanjian yang telah ditandatangani. Kemudian dampak lain dari ketentuan peralihan yang demikian mempunyai implikasi negatif yang cukup luas terutama kepada iklim investasi di Indonesia secara umum.


           
           

           
         














BAB III
PENUTUP


A.   Kesimpulan
          Migas (minyak bumi dan gas alam) dan juga minerba (mineral dan batubara) merupakan SDA yang tidak terbarukan (non Renewable) yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang banyak, serta memberi nilai tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Dalam sistem/rezim kontrak sebagaimana diterapkan selama ini bedasarkan UU No.11 Tahun 1967, posisi pemerintah tidak saja mendua yaitu sebagai regulator dan pihak yang melakukan kontrak, tetapi secara mendasar juga merendahkan posisi Negara setara kontraktor.
            Dalam UU Minerba terjadi perubahan rezim dalam tata kelola industri tambang nasional. Sehingga istilah-istilah seperti KK, PKP2B dan KP diganti menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP). Dalam rezim perijinan atau IUP ini, negara berada dalam posisi yang superior dibandingkan dengan perusahaan tambang. Negara berwenang menerapkan sanksi administratif mulai dari penghentian sementara kegiatan tambang hingga pencabutan IUP (pasal 151 ayat 2). Dalam pelaksanaan usaha migas, tidak hanya menggunakan sistem Kontrak Bagi Hasil, tetapi bisa juga menggunakan sistem Kontrak Karya yang diperlukan untuk menraik investor asing. Hal ini dikarenakan tingkat resiko pertambangan migas yang memiliki resiko yang sangat tinggi pada tahap eksplorasi.
            Ketentuan yang tercantum dalam UU Minerba menyimpang dari hakihat peralihan yang intinya :
1.      menyederhanakan masalah yang akan timbul akibat lahirnya peraturan perundandang-       undangan yang baru bukan sebaliknya menimbulkan masalah baru
2.      mencegah kekosongan hukum (rechtvacuum) dan kekosongan kekuasaan (machtvacuum)
3.      menciptakan kepastian hukum dalam arti memberikan perlindungan kepada semua             perbuatan  hukum yang lahir bedasarkan dan peraturan perundangan yang lama
            Ketentuan peralihan yang benar adalah cukup memberikan kepastian hukum kepada siapa saja baik bagi penyelenggara fungsi-fungsi pemerintahan maupun kepada pemegang izin, kontraktor atau para pihak yang telah melakukan perbuatan hukum yang terkait dengan Minerba  sampai selesainya jangka waktu izin dan perijinan.

B.   Saran
            Setiap berubahan selalu menuai pro dan kontra. Sehingga, dalam perubahan sistem k sistem yang lain akan mendapat banyk ktitikan. Jadi, menurut saya apapun yang dilakukan oleh pemerintah adalah tujuan baik. Asalkan setiap perubahan yang dilakukan tidak menyimpang dari undang-undang dan bertujuan untuk mensejahterakan rakyat.

           
           











DAFTAR PUSTAKA

       I.            Buku
·         HS, Salim. Hukum Pertambangan Di Indonesia. Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2006
·         Simamora, Rudi M. Hukum Minyak Dan Gas Bumi. Jakarta ; Jambatan 2000

    II.            Peraturan
·         Indonesia. Undang-undang Tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi. UU Nomor 44 Prp Tahun 1960
·         Indonesia . Undang-undang Tentang Pokok Pertambangan. UU Nomor 11 Tahun 1967
·         Indonesia . Undang-undang Tentang Pertamina. UU Nomor 8 Tahun 1971
·         Indonesia. Undang-undang Tentang Minyak dan Gas Bumi. UU Nomor 22 Tahun 2001

 III.            Artikel
·         http://casdiraku.wordpress.com/category/migas-dan-pertambangan/  diakses pada  14 Juni 2012